June 2018 - Mrs Bule

Tuesday 19 June 2018

My Miscarriage Story #storytime
00:471 Comments


(image source: Unsplash )

Aria lahir September 2016 dan sekitar Januari 2017, we found out that I was pregnant again. Kebayang dong gimana panik dan galaunya gue. Salah kita memang yang nggak langsung ikut program KB karena kita pikir itu kan baru lahiran banget dan onderdil gue masih acak adul. But well, things happened. Periode itu kita lagi tinggal di Jakarta jadi gue agak legowo karena masih dekat dengan keluarga. Walau jujur dalam hati sebenernya nggak rela banget karena gue nggak siap. Even Aria bukan bayi cerewet yang bisa buat mata gue dan Mamat berpanda ria but we got our hands full. Belum lagi gue yang masih harus banyak gendong Aria sana sini. Kita pun memutuskan untuk keep the baby walau Mamat sebenernya galau juga.

Singkat cerita, kita harus pindah ke Phnom Penh sekitar 1 minggu. Untungnya nggak lama karena honestly gue nggak mau raise my kids there. No offense. Setelah dari Phnom Penh, kita pindah lagi ke Manila. Ketidak siapan dan ketidak relaan gue buat hamil lagi tetap ada but they eased up. Mamat dan gue merasa optimis dari segi emosional dan finansial. Jeleknya, setelah balik merokok lagi setelah lahiran Aria, gue pun masih berlanjut. Bawaannya masih stres bok! (I know I'm not a perfect Mom). Gue pun masih minum wine karena waktu hamil Aria gue rajin nge-wine dan katanya red wine bagus buat pregnancy. Sekitar memasuki 3 bulan, gue pun berhenti merokok dan juga setelah dikecam keras sama Mamat.

Gue inget waktu itu 11 April 2017, kita kehilangan anak kedua. Satu minggu sebelumnya perut gue kram sepanjang minggu. Awalnya gue kira itu normal karena waktu hamil Aria dulu gue suka kram jadi gue cuma konsumsi pain killer. Tapi sakitnya masih belum hilang juga selama seminggu itu, juga nggak ada darah yang keluar selain cairan coklat lengket.

Jadi Kamis (6 April 2017) kita pergi ke dokter kandungan sama Aria. Ngomong-ngomong, dokternya perempuan dan masih muda karena Mamat nggak mau laki-laki lain to see my junk (lol!). Sebenernya itu dokter pengganti sih karena dokter yang gue booked lagi off. Anyway, setelah dokter nanya ini-itu, dia minta gue untuk berbaring di meja pemeriksaan. Dia bilang cervix-nya masih nutup yang artinya bagus dan nggak ada pendarahan tapi dia menyarankan untuk scan dan bedrest. Kita bahkan sempet denger detak jantungnya si baby and it bet so fast. Mamat dan gue excited banget, rasanya kayak pertama kali punya baby. Jadi dokter kasih resep untuk kram, vitamin dll. Dia ngasih gue :
Isoxilan Tab 10 mg;
Obimin Plus Cap;
Duphaston Tab 10 mg.
Kita langsung ambil di apotik dan langsung gue minum karena kram-nya udah nggak tertahankan banget. Terus kita pulang. 

Kita berencana untuk scan hari Senin tapi ternyata di Filipina lagi libur Holy Week jadi mereka nggak available yang artinya kita harus nunggu sampe minggu depan. Meski gue udah konsumsi obat, kram-nya masih nggak hilang jaid berasa buang-buang duit. Dan gue pun mulai pendarahan dan my water leaked.

11 April pagi, gue tiduran di kasur sambil main hp, gue nggak bisa tidur karena kram. Setiap kali gue bangun, selalu ada gumpalan besar keluar dari vagina. Jadi gue ke toilet dan gue merasa kayak ada gumpalan besar mau keluar. Gue berniat untuk simpan dan tunjukkin ke dokter (hasil nge-google sih menyarankan begitu) supaya mereka bisa meriksa. And there she was, right on my hand (on pad). Gue teriak dan manggil Mamat dan nangis bersamaan. 

Aseli gue histeris. Pikiran gue kosong. Gue nggak inget ngomong apa atau apa gue gemetaran. Pokoknya gue nggak inget. Gue nggak tahu berapa lama gue nangis. Gw nelfon Nyokap dengan histeris. Mamat coba menenangkan gue, dia bahkan nggak sempat bereaksi sendiri karena terlalu sibuk menenangkan gue dan juga jaga Aria. At that time, I felt like I would never stop crying.

Beberapa hari setelahnya gue pendarahan hebat dan sisanya keluar seperti plasenta dan lain lain. Perut gue masih kram sampai 10 hari berikutnya.

Harus gue akui, hati gue rasanya hancur banget karena gue melihatnya langsung, udah berbentuk human. Bayi gue baru berumur 13 minggu, tapi gue tahu kalo itu perempuan. I feel horrible because I feel guilty. Waktu tahu gue hamil, gue ketakutan. Terlalu awal dan gue baru melahirkan Aria 6 bulan yang lalu. Gue berharap gue nggak hamil.  Dan sekarang kejadian depan mata, sebagian diri gue merasa lega but then it hit me. As much as I said, "I'm not ready," I did want her. I really did. Betapa butanya gue nggak menyadari itu sampai akhirnya gue kehilangan anak itu. Gue rasanya malu banget karena kehilangan bayi itu dan gue merasa itu salah gue. Gue anggap miscarriage ini sebagai tanda kalau waktunya memang nggak tepat dan ini membawa gue dan suami gue menjadi lebih dekat karena kita berbagi tangis.

Sekarang gue uda ikhlas. Andai gue bisa menunjukkan betapa menyesalnya gue. Tuhan mungkin menguji gue dan Mamat dan lihat kita belum siap. Atau mungkin ada rencana lain. Seperti sekarang gue hamil lagi (Puji Tuhan!) dan
uda memasuki 32 minggu. Beberapa minggu lalu kita scan dan ternyata kita dapet baby girl lagi yang rencananya due date tanggal 22 Juli. Dan kali ini gue merasa lebih siap dari sebelumnya. Doakan ya.


Reading Time:

Thursday 14 June 2018

Kenapa Suka Bule? #storytime
20:231 Comments

Bukan sekali doang gue ditanyain kenapa suka bule. Aduh, kalo ditanya gitu biasanya jawaban gue cuma, "Eh, nggak tahu ya. Abis beda sih." Setelah dipikir-pikir, jawabannya kok agak rasis juga yak.

Banyak wanita Indonesia yang memiliki pasangan orang asing, entah karena emang preferensinya begitu atau yah emang uda jodohnya. Ketemunya pun macem-macem, ada yang dari online maupun offline. Mamat dan gue ketemunya sih offline, nggak ada meet-cute atau apapun itu lah yang kata orang-orang. Menurut gue sih biasa aja, tapi kalo kata Mamat ada firework (ceileh!)

Karena sering ditanyain, gue pun akhirnya mulai mencari-cari apa akar awalnya gue bisa tertarik ama bule. Mamat emang bukan pacar bule pertama gue dan gue pun pernah kok pacaran dan tertarik sama orang Indonesia. 

Direct encounter pertama gue sama orang bule itu yang paling gue inget adalah waktu SMP. Jadi ceritanya gereja gue mengundang suami-istri missionaries dari Amerika yang ikut memboyong kedua anak cowok mereka selama seminggu ke Bengkulu. Namanya masih ABG belagu, waktu ngeliat mereka gue mikirnya, "Dih, keren nih gue kayaknya kalo gue bisa ngajak ngobrol mereka. Pasti pada sirik nih." (Haha!) Tapi serius itu yang ada di pikiran gue. Ujung-ujungnya gue malah baru berani waktu mereka udah mau balik lagi. Gue lupa ngomong apa tapi yang pasti belepotan banget Inggrisnya. Akhirnya gue bisa ajak ngobrol dan dapet alamat email-nya juga. Dih, bangga banget gue waktu itu, sempat juga email-emailan beberapa kali tapi that's it. Kalo diinget-inget kayaknya gue lebih mendekati stalker deh. Bawaannya kayak orang lagi jatuh cinta,lol! Dasar ABG labil!

Anyway, setelah dirunut-runut gue pun menyimpulkan kenapa gue bisa suka sama bule itu karena nyokap. Gimana nggak kalo gue dari kecil uda begadangan nonton film Steven Seagel, James Bond (jaman Pierce Brosnan tuh), Titanic, Indiana Jones dan film barat lainnya di RCTI. Ngeliat gimana heroik dan romantisnya para lelaki kulit putih itu, siapa yang nggak kesengsem. Walaupun tanpa direncanakan untuk nikah sama orang Inggris, gue selalu menganggap kalo aksen Inggris itu seksoy.

Memang sih ada banyak alasan lainnya kenapa gue suka bule tapi kalo ditanya awalnya kenapa, cuma ini yang bisa gue pikirkan. Pada akhirnya, yah, kalo jodoh nggak kemana, hehe.


Reading Time:

Tuesday 12 June 2018

Istri Bekerja Atau Tidak?
22:051 Comments

Jujur kadang gue suka kangen kerja kantoran lagi. Dulu gue sempat jadi Auditor di salah satu Kantor Akuntan Publik (KAP) di Jakarta. Walaupun tekanan dan work load nya berat apalagi mendekati waktu lapor pajak dan akhir tahun, gue menikmatinya. Bahkan sekarang gue suka kebayang-bayang buat Working Papers, kotak-katik Excel, grasak-grusuk dokumen dan sebagainya. Dulu gue selalu menganggap kerjaan Auditor ini kayak jadi detektif which is impian gue banget dari sejak suka baca seri Lima Sekawan-nya Enid Blyton.

Mamat pun sebenernya ngijinin kalau gue mau kerja biar gue juga bisa punya uang sendiri. Dia pun enggak menuntut gue harus bekerja atau enggak. Cuma yah biasalah kadang kalo lagi alot berantem suka kelepas omongan 'cari duit sendiri'. Biasanya omongan enggak enak gini keluar kalo dia lagi mumet, full of pressure terus gue mulai nagging minta ini-itu buat Aria, imunisasi dan lain-lain. Ini sih sebenernya bukan alesan utama kenapa gue mau kerja tapi secara engga langsung mempengaruhi keputusan gue buat mau cari uang sendiri. Well, you know...ego.

Tapi kalau pun gue kerja, gue enggak mau kerja kantoran atau yang bakal sering ninggalin anak apalagi anak masih kecil karena gw mau 'around' di saat anak gue bertumbuh. Jadi kalaupun mau ambil kerjaan, ya yang bisa dilakukan dari rumah. Nggak mesti kerja yang gaji gedelah, cukup untuk tambah-tambah uang jajan, toh Mamat masih mampu memenuhi kebutuhan kita.

Anyway, salah satu youtuber kesukaan gue Pita's Life pernah bahas soal suami yang penuhi kebutuhan keluarga dan istri (Pita) memilih bekerja untuk memenuhi keinginan dia sendiri, jadi nggak perlu minta-minta suami. Gue sih setuju begini. Dulu pernah random talk ama sepupu gue yang sudah menikah dan intinya, 'uang suami, uang istri. Uang istri, ya uang istri.' Waktu itu sih kita ketawa aja tapi kalo sekarang gue pikir-pikir kok egois ya? Emang sih enak buat si istri jadi kalau mau beli apa-apa jadi bebas walau mungkin kalo mau beli sesuatu yang signifikan masih ijin suami dulu. Terus bukannya uang si istri jadi untuk belanja-belinji juga, gue pribadi masih ada simpanan duit sendiri yang gue pisahin dari Mamat. Selain itu juga misalnya gue bisa beli barang yang gue mau seperti handphone terus suami nggak bisa ambil balik hp itu kalo lagi berantem dengan alesan 'kan gue yang beli' (curcol, lol!)

Jadi intinya istri memilih bekerja untuk mengaktualisasikan dirinya atau memberi value pada dirinya sendiri dan dia bisa bangga dengan dirinya sendiri juga.

Nah, kalau memotivasi diri dengan bisa beli barang yang kita mau dari uang sendiri, ending-nya ini jadi drive istri untuk semangat cari uang atau malah jadi nggak bakal punya apa-apa (I mean like shopping spree) ? Kalo dalam kasus gue sih malah bisa berakhir enggak kesampaian buat beli buku-buku incaran gue dong. Jadi blessing or curse nih?

Anyway, kalo udah punya penghasilan sendiri, ikut bantu memenuhi kebutuhan keluarga juga nggak? Gue sih nggak masalah ya, justru bangga karena seriously kebutuhan keluarga apalagi kalo udah punya anak itu enggak ada habis-habisnya. Beneran deh.

So the point is istri bekerja itu bagus asal jangan sampai ngelunjak terus belagu sampai step on hubby's head juga. Durhaka itu mah.


Reading Time: